Siapa kini yang sanggup memimpin frustrasi rakyat? Pers lebih tergiur membahas bahasa tubuh presiden. Para pakar lebih tergoda mengolok-olok model komunikasi politik pemerintah. Tokoh LSM berhenti berpromosi ham karena kurang biaya. Universitas lebih suka menerima informasi pesanan birokrasi dan dunia bisnis ketimbang mengukur kedalaman demokrasi dan keadilan. Parlemen amat gembira memagari diri dari gangguan rakyat. Dalam kondisi itu, politik ”arus bawah” mengalir deras.
Isu ”arus bawah” kini tidak memiliki nama, kecuali ia hanya akibat dari harapan yang hampir putus terhadap perubahan. Untuk sementara harapan itu bisa disambung melalui kebijakan ”politik uang” yang bernama BLT (bantuan langsung tunai), sekadar untuk menunda instabilitas politik. Karena itu, kita berhasil memelihara stabilitas politik yang semu selama satu triwulan lalu.
Namun, sebelum tahun yang lalu berakhir, gelombang PHK sudah mulai, bahkan merata ke seluruh provinsi. PHK berarti frustrasi ekonomi bagi kelas menengah. Dan, ini adalah kondisi politik yang tidak dapat disubsidi karena ia menyangkut defisit harga diri para penganggur.
Seorang penganggur bukan saja tidak punya pekerjaan, tetapi juga tidak punya harga diri. Menurut rumus sosiologi, huru-hara adalah fasilitas sosial bagi ekspresi politik harga diri! Sekali pintu itu terbuka, dendam-dendam politik lama akan berhamburan menuju pintu yang sama. Begitulah rawannya kondisi transisi demokrasi kita kini. Tetapi siapa peduli?
Kabinet yang baru tentu bersiap untuk meredam metode ini. Tetapi, samakah kepentingan politik di antara anggota kabinet sehingga suatu dirigisme ekonomi dapat dijalankan secara koheren, yaitu dengan asumsi yang satu dan dalam arah yang sama? Misalnya, apakah bidang ”kesra” (yang berparadigma subsidi) akan dikelola secara ”moneteristik” sama seperti bidang ”ekuin” (yang berparadigma efisiensi)? Atau apakah paradigma bidang ”ekuin” sendiri dapat dikendalikan secara disipliner oleh Menko Perekonomian tanpa halangan politik dari menteri-menteri teknisnya yang berbendera partai? Bukankah hasil reshuffle kabinet adalah amat politis ketimbang keahlian sehingga political utility seorang menteri mendahului intellectual capability-nya? Dapatkah Menko Perekonomian mengabaikan itu?
Tentu saja problem ini akhirnya memerlukan kata akhir presiden. Tetapi hingga kini demarkasi antara wilayah ”teknokrasi” dan ”politik” belum dapat ditetapkan presiden sebagai kepala kabinet. Padahal, garis inilah yang akan menentukan iklim investasi jangka panjang, kepastian pemberantasan korupsi, sekaligus dasar dari suatu sistem pemerintahan presidensial yang efektif.
Dunia kerja yang rasional tentu ingin menghormati politik, untuk jaminan investasi jangka panjang. Tetapi bila demarkasi itu tidak tegas, dunia bisnis akan mengeksploitasi politik demi keuntungan jangka pendek. Ini pasti berakibat memperdalam pelembagaan korupsi dan memperlebar dendam ketidakadilan. Suatu langkah mundur reformasi!
Garis demarkasi yang tidak tegas juga mengaburkan teori legitimasi pemilu langsung karena kepala neagara terus bekerja dalam teori parlementarian semu. Dalam sistem presidensial yang efektif, seorang presiden memerlukan hanya satu teori, satu asumsi, dan satu risiko. Sebaliknya, presiden yang menggabung-gabungkan teori, menumpuk-numpuk asumsi, niscaya sedang menabung banyakdampak
(perbaikan )
yg di cetak tebal salah..
1.ham seharusnya pake hurup besar
2 informasi menjadi riset
3 membahas menjadi mengamati
4 metode menjadi teori
5 kerja menjadi bisnis
6 kepala negara menjadi presiden
7 dampak menjadi resiko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar